Wacana pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak akhirnya terlaksana juga. Jumat malam harga bahan bakar pun naik. Sebelum harga bahan bakar minyak naik, pasar pun sudah merespon dengan kenaikan harga-harga kebutuhan sembako yang diikuti dengan kenaikan jasa tranportasi di lingkungan tempat tinggal saya.

Namun jauh hari sebelum hari H kenaikan harga bahan bakar minyak dilaksanakan, saya biasa masuk pasar untuk blusukan membeli kebutuhan rumah sekaligus berbincang dengan pedagang yang ada di pasar. Dengan logika sederhana, jika harga bahan bakar minyak naik, dengan sendirinya ongkos transportasi pun  ikut naik. Pedagang di pasar pun juga bersiap menaikkan harga jual dagangannya.

Karena untuk mendapatkan bahan dagangan, pedagang akan menggunakan sarana angkutan umum untuk mendatangkan dagangan ke tokonya. Dengan sendirinya, jika ongkos transportasi naik keuntungan berdagang tetap maka untuk mempertahankan kelangsungan usahanya, pedagang akan menaikkan harga dagangannya. Dalam hal ini pedagang tentu akan mencari untung agar bisa terus  berjualan.

Naiknya harga dagangan tidak saja berlaku untuk kebutuhan sembako saja. Masakan matang siap saji yang biasa dijual keluar masuk tempat tinggal saya, juga ikut naik. Demikian pula dengan penjual masakan ala warung Tegal, warung Padang, Soto Betawi, Sego Kucing ala warung angkringan juga ikut-ikutan naik harganya. Yang semula dijual Rp 4.500 naik menjadi Rp 5.000 untuk sekali makan.

Namun tidak demikian halnya dengan pedagang Nasi Uduk Betawi yang sudah 1 bulan ini jadi langganan saya saat saya kelelahan mampir ke warungnya untuk sarapan. Bermula dengan perkenalan diri antara saya dengan si pemilik warung yang saya kira penjualnya Mpok dan Bang asli Betawi, ternyata saya kecele. Dalam pembicaraan yang lalu Ibu dan Bapak penjual nasi uduk ini mengatakan, ia dan keluarganya adalah warga pendatang dari Wonogiri Jawa Tengah yang sudah jadi warga Jakarta atau tepatnya Tangerang sejak tahun 1996.

Berbekal pengetahuan masak memasak di daerah asalnya Wonogiri, ibu ini lalu membuka usaha warung nasi uduk Betawi yang ternyata usahanya cukup laris untuk warga Desa Tajur dan Pondok Kacang Timur, Tangerang. Di bantu puterinya yang masih duduk di sekolah menengah atas, keluarga perantau ini membuka warungnya sejak pukul 6 pagi hingga jam 14.00. Setiap kali saya mampir ke warungnya untuk sarapan, harga sepiring nasi uduk,  sayur nangka, kerupuk dan sebutir telur dibandrol Rp. 6000, –

Dalam rangka ulang tahun Jakarta ke 486 ini, saya kembali membuka memori tentang makanan-makanan khas Betawi yang sering saya nikmati. Makanan-makanan ini ada yang masih saya santap hingga sekarang, ada juga yang sudah jarang saya konsumsi lagi.

Dalam rangka ulang tahun Jakarta ke 486 ini, saya  membuka memori tentang makanan khas Betawi yang sering saya nikmati. Salah satunya nasi uduk Betawi  yang masih sering saya santap sebagai menu sarapan pagi.

Pelayanan serba cepat, bersih tempat usaha, supel dalam melayani pembeli, nasi uduknya dalam waktu 3 jam setelah buka sudah ludes diserbu pembeli. Pembeli silih berganti datang dan pergi menikmati  sarapan nasi uduk. Dengan harga standar makanan sebagaimana saya pesan setiap kali mampir ke warungnya, yaitu Rp. 6.000 omset penjualan hingga warung tutup mencapai angka ratusan ribu rupiah.

Namun,  Sabtu ( 22/6 ) pagi saat saya sarapan di warungnya, saya tercengang dengan harga nasi uduknya yang masih tetap bertahan di kisaran harga sebagaimana yang sudah-sudah. Bapak dan Ibu penjulan nasi uduk ini tidak ikut-ikutan menaikkan harga dengan alasan yang tidak saya ketahui. Sementara penjual makanan matang yang keluar masuk di kampung saya, malah sudah menaikkan harga seminggu sebelum harga resmi BBM naik.

Sungguh masih menjadi tanda tanya bagi saya kenapa keluarga penjual nasi uduk ini tidak menaikkan harga. Barangkali menunggu hari yang pas untuk ikut menaikkan harga dagangannya. Bahkan Sabtu ( 22/6 ) pagi pekan lalu, saya dibuat lebih tercengang lagi dengan  harga nasi uduk yang semula Rp. 6.000 per piring dengan menu sama dengan yang saya pesan, malahan diturunkan jadi Rp. 5.000,

Mbak Tari, puteri pemilik warung nasi uduk yang melayani saya di pagi hari itu belum sempat saya tanya, kenapa harga diturunkan sementara harga-harga makanan lain sudah pada naik. Saya tidak sempat menanyakan hal itu karena keburu harus  pamit untuk  segera bekerja. Mungkin perlu waktu yang pas untuk menanyakan hal itu, atau jangan-jangan hari ini harga nasi uduknya sudah naik, karena kebetulan pagi ini saya tidak mampir ke warungnya.

Mbak Tari sudah bikin PR di otak saya berpikir, kenapa dia berani banting harga nasi uduknya sementara harga-harga kebutuhan dasar lainnya sudah pada naik.  Ataukah ini sebuah trik berdagang agar pembeli tetap betah mampir ke warungnya ? Sementara untuk urusan mengisi perut jika lapar datang, pembeli akan datang untuk makan dan tidak perlu berpikir apalagi menanyakan, ” Pak dan Ibu penjual, apakah  makanan yang pesan ini harganya sudah naik? “